![]() |
| Tadabbur Dhawuh Eyang Langgang Jagat |
1. Diobong Ora Kobong, Disiram Ora Teles
Ungkapan Jawa “diobong ora kobong, disiram ora teles” menggambarkan sebuah kualitas batin yang matang, stabil, dan tidak mudah digoyahkan. Ia bukan berbicara tentang fisik yang kebal api atau tahan air, melainkan tentang seseorang yang jiwanya telah mencapai keteduhan yang membuatnya teguh menghadapi keadaan apa pun—baik kesusahan maupun kesenangan.
Api dalam pepatah ini melambangkan tekanan, fitnah, musibah, dan segala bentuk kesulitan hidup.
Orang yang “diobong ora kobong” adalah mereka yang mampu menanggung panas persoalan tanpa terbakar karenanya. Ia tetap jernih berpikir, tidak gegabah, tidak putus asa. Cobaan boleh datang silih berganti, tetapi pusat dirinya tidak runtuh.
Di sisi lain, air melambangkan kelapangan, rezeki berlimpah, pujian, dan kenyamanan dunia. Orang yang “disiram ora teles” bukan berarti tidak menikmati nikmat yang diberikan, tetapi tidak tenggelam oleh kenikmatan itu. Ia tidak menjadi sombong, tidak malas, tidak lupa diri. Kesuksesan tidak melarutkannya; ia tetap sadar bahwa hidup ini naik-turun dan perlu dijalani dengan kepala dingin.
Pepatah ini kemudian berdampingan dengan falsafah lain yang memperdalam maknanya, salah satunya adalah “Ngunu yo ngunu, ning ojo ngunu.” Artinya: sesuatu itu memang berlangsung sebagaimana mestinya, tetapi jangan berlebihan dalam menjalaninya. Ada porsi, ada batas, ada tempat, ada waktunya. Segala sesuatu baik pada tempatnya, tetapi jika melewati takarannya, ia berubah jadi mudarat.
Kebijaksanaan ini sejalan dengan ungkapan Oleh Seneng, Ning Ojo Seneng-Seneng.
2. Oleh Seneng, Ning Ojo Seneng-Seneng.
Kita boleh gembira, tetapi jangan sampai kegembiraan itu membuat kita lupa diri. Jangan menjadikan senang sebagai alasan untuk melampaui batas, mengabaikan kewajiban, atau mengendorkan kewaspadaan. Kegembiraan yang terlalu tinggi sering kali membuat manusia lalai, dan kelalaian adalah pintu masuk bagi banyak musibah.
Demikian pula falsafah Oleh Nemen, Ning Ojo Nemen-Nemen.
3. Oleh Nemen, Ning Ojo Nemen-Nemen.
Kita boleh bersungguh-sungguh, tetapi jangan sampai kesungguhan berubah menjadi ambisi yang membutakan. Boleh bekerja keras, tetapi jangan memaksakan diri sampai lupa istirahat. Boleh mencintai seseorang, tetapi jangan sampai cintanya menjadi keterikatan yang membuat kita berhenti melihat kenyataan. Segala yang dilakukan “terlalu” selalu membawa konsekuensi.
وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ
Bisa jadi kau benci sesuatu, padahal ia baik bagimu.
Bisa jadi kau cinta sesuatu, padahal ia buruk bagimu.
(QS. Al-Baqarah 216)
اَحْبِبْ حَبِيْبَكَ هَوْنًا مَا عَسَىٰ أَنْ يَكُوْنَ بَغِيْضَكَ يَوْمًا مَا
وَاَبْغِضْ بَغِيْضَكَ هَوْنًا مَا عَسَىٰ أَنْ يَكُوْنَ حَبِيْبَكَ يَوْمًا مَا
Cintailah yang kau cintai sekadarnya saja, bisa jadi ia akan menjadi yang kau benci suatu hari nanti.
Bencilah yang kau benci sekadarnya saja, bisa jadi ia akan menjadi yang kau cintai suatu hari nanti.
(HR. Tirmidzi)
وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Janganlah kamu berlebih-lebihan; sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)
Keseluruhan ajaran ini menyatu dalam satu benang merah: Keseimbangan batin. Hidup tidak hanya diuji oleh derita; terkadang kenikmatan adalah ujian yang jauh lebih halus. Kesusahan menguji kekuatan kita, sedangkan kesenangan menguji kesadaran kita, maka orang yang telah dewasa jiwanya adalah dia yang tetap tenang dalam derita, dan tetap sadar dalam bahagia.
Pada akhirnya, pepatah-pepatah Jawa tersebut mengajarkan bahwa kekuatan terbesar manusia bukanlah kebalnya tubuh, tetapi kematangan jiwa. Itulah manusia yang “ora kobong, ora teles”: tidak dihancurkan oleh panasnya cobaan, dan tidak dilalaikan oleh sejuknya nikmat. Ia berjalan di dunia dengan batin yang teguh, seimbang, tenang, dan penuh kesadaran.
Ngunu Yo Ngunu, Ning Ojo Ngunu (gitu ya gitu, tapi jangan gitu).
Oleh: sekarwiku, Senin (17/11/2025), Jawa Timur.


0 Komentar
Silahkan Komentar